deg-degan
Selalu
berirama dan membuatku nyaman berada di sini, studio musik sekolahku. Ruangan
yang tak begitu besar , namun di dalamnya terdapat 2 buah microphone dan gitar, sebuah gitar bass dan keyboard, dan
seperangkat drum. Di tempat inilah aku mengikuti ekskul band di sekolahku. Aku
juga memiliki teman- teman baru dari kelas lain yang juga mengikuti ekskul ini.
Di
studio itu juga pertama kali aku melihatnya, dia yang pandai memainkan nada-
nada indah dari microphonenya. Sosok yang cantik, tinggi, dan berkulit putih.
Dia adalah arinda, siswa kelas IX yang kebetulan kelasnya bersebelahan dengan
kelasku. Dan disinilah kisahku saat mulai mengenalnya.
Setelah
performnya di acara festifal musik di sekolah, aku tak pernah lagi melihatnya
di studio band sekolah. Dan nampaknya dia dan teman- teman ekskul lainnya sudah
tak pernah lagi datang untuk latihan. Terbesit rasa bosan di benakku karena aku
satu-satunya siswa kelas IX yang hadir di studio sekolahku ini. Jadi kuputuskan
untuk sementara waktu aku juga absen dan mencoba membujuk teman- temanku untuk
kembali datang seperti sebelumnya dan ternyata usahaku terasa sia- sia saja.
Aku menyerah dan kebetulan akhir pekanku mulai dipenuhi tugas- tugas yang
menumpuk, terutama tugas kelompok yang hanya bisa di kerjakan di hari sabtu dan
minggu, itu artinya aku sudah jarang datng ke studio untuk berlatih.
Walaupun
tidak bertemu di ekskul aku masih bisa memandang sosok Arinda walau hanya
sekilas ketika aku melewati kelasnya. Kami hanya saling melempar senyum saja
ketika bertemu dan kami juga belum pernah saling berbincang, tetapi aku cukup
senang karena setidaknya aku dan dia sudah saling mengetahiui satu sama lain.
Pekan
lalu aku 3 hari tidak masuk sekolah karena nenekku meninggal dan aku harus ikut
mengantarnya dalam damai di kota asalku, Magetan. Itu artinya aku harus
menyusul ulangan Pendidikan Kewarganegaraan yang batal kuikuti hari Jum’at
pekan berikutnya. Aku senang karena setidaknya aku punya sedikit waktu untuk
lebih memperdalam materi yang menjadi bahan ulangan.
Hari
ulangan susulanku telah tiba, aku sedikit takut karena aku mengira bahwa hanya
aku murid satu- satunya yang mengikuti susulan ini, ternyata ada juga teman
sekelasku, Yanuar , yang juga belum ulangan. So, aku tidak perlu merasa
kesepian lagi. Pak Margono guru PKn kami mengatakan bahwa susulan diadakan di ruang
perpustakaan. Aku dan Yanuar segera menuju ke perpustakaan, sesampai di sana
ternyata ada teman- teman dari kelas lain yang juga mengikuti susulan.
Sambil
menunggu Pak Margono datang, aku membaca lagi materi- meteri yang menjadi bahan
ulanganku kali ini. Tiba- tiba, Yanuar memanggil nama yang tak asing di
telingaku.
“
Hei Nda !!!”, panggil Yanuar seraya melambai.
“
Hei Rin , kamu juga ikut susulan ?”, tanya Arinda seraya menarik kursi dan
duduk di sebelah Yanuar.
“
Yoi bray,” jawab Yanuar santai.
Aku
hanya bisa bengong dan deg- degan karena kini aku hanya duduk berjarak kurang
dari 2 meter dengan Arinda. Tak lama setelah itu Pak Margono datang dan segera
duduk di antara kami semua yang mengikuti ulangan susulan.
“Baik
anak- anak, saya akan mulai mendiktekan soal- soalnya,” kata Pak Margono.
Setelah
soal- soal selesai dibacakan Pak Margono mulai mengacak duduk kami di sekitar
tempat duduk yang ada di ruang perpustakaan. Dan aku kaget karena aku duduk di
sisi Arinda dan hanya berjarak satu kursi dengannya.
“
Hai Yan,”sapanya dengan seulas senyum manis dari bibirnya.
“
Hai juga Nda,” balasku juga dengan senyuman yang mungkin terlihat aneh karena
aku sedikit malu.
Aku
mengerjakan soal- soal yang telah diberikan dengan hati- hati dan seteliti
mungkin kerena aku tak bisa berbohong bahwa sebenarnya aku deg- degan karena
aku duduk disebelah Arinda.
“Yan,
aku pinjam soal kamu yang nomor 5 donk, aku tadi ketinggalan waktu
didikte,”kata Arinda menghentikan konsentrasiku.
“Ok,bentar
ya aku kelarin dulu nulis jawaban nomor 4 ini …”,jawabku sambil tersenyum
kemudian menyelesaikan jawaban yang kutulis.
“Ou,
he’eh,” ucapnya dengan lembut.
Setelah
selesai menuliskan jawabku, Arinda meminjam kertas soalku. Aku memandanginya
ketika ia menulis dengan wajah yang serius, terlihat imut dan sangat manis.
Sayang, mungkin aku hanya bisa mengaguminya untuk saat ini.
“Yan,
ni udah selesai, makasih ya…,” kata Arinda memecahkan lamunanku.
“Oh,
iya iya, sama- sama Nda,” sahutku sambil tersenyum malu berharap dia tidak
menyadari bahwa aku sedang memandanginya. Dia membalas perkataanku dengan
senyum menawannya.
Beberapa
menit kemudian aku telah menyelesaikan ulangan susulan Pendidikan
Kewarganegaraan-ku. Seusai mengumpulkan kertas ulanganku aku kembali ke kelas
untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Ketika aku menuruni tangga Arinda berada
di belakangku.
“
Bareng ke kelas ya Yan. Karina tadi balik duluan ya ?”, ucap Arinda.
“Ok,
searah kan kita. Iya tadi Yanuar udah
duluan,” jawabku dan tentunya dengan senyuman.
“Lumayan
sulit ya tadi ?”, tanya Arinda sambil memandang ke arahku. Aku hanya mengangguk
menjawabnya.
Setelah
sampai di depan kelasku aku hanya mengatakan kata pamit yang singkat kusertai
dengan lambaian tangan. Dia balas melambai disertai senyum khasnya yang mungkin
bisa menghipnotis gadis yang melihatnya.
Sejak
kejadian di perpustakaan, perasaan yang kumiliki untuk si vokalis tersebut
semakin kuat dan aku selalu berharap dia lewat di depan kelasku dengan seulas senyum
padaku.
Seminggu
kemudian sepulang sekolah aku mencari temanku Andre yang kebetulan satu kelas
dengan Arinda untuk membicarakan jadwal latihan futsal yang telah disepakati
sebelumnya. Setelah selesai berbincang mengenai jadwal tersebut aku berniat
kembali ke kelas, tetapi Arinda menghentikanku dan meminta nomor hand phone-ku.
Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat itu karena AKU SANGAT SENANG SEKALI.
Malam itu sepulang dari membeli
obat dengan ayahku, ada pesan masuk di hand phone-ku dan ternyata itu pesan
dari Arinda.
Arinda
09-Mei-11 18:29
Heh..
Yanuar
09-Mei-11 18:29
Ap
Heh ???
Arinda
09-Mei-11 18:31
Qm
lg ap?
Yanuar
09-Mei-11 18:33
Ge
dgrin msik aj. . .
Km
ndiri ???
SMS
dengannya berlanjut hingga alu tertidur. Tetapi aku tak lupa belajar hari itu
karena aku belajar sepulang sekolah.
Keesokan
harinya setelah aku selesai belajar dia selalu mengirim pesan terlebih dahulu
padaku. Aku sangat senang karena aku merasa bahwa aku semakin dekat dengan Si Vokalis
itu,Melody Arinda Soebonoe.
Jum’at
lalu aku berada di sekolah lebih lama karena aku mengikuti latihan futsal, aku
berlatih tanpa Andre karena dia mengatakan ada kerja kelompok siang itu.
Sebelum latihan, aku menuju ke kelas Andre untuk meminjam sarung tangan
miliknya karena punyaku tertinggal. Ketika di depan kelasnya aku bertemu
pandang dengan Arinda, dan kami kembali saling melempar senyum.
“Yan,
nanti sepertinya ada ekskul band, kamu dateng?”, tanya Arinda yang telah
berdiri di depanku.
“
Kalau kamu dateng mungkin aku juga dateng Nda,” jawabku santai agar tak
terlihat gugup di depannya.
“Ehm…”,
Andre berdehem seraya tersenyum usil padaku dan Arinda.
“
Ah, kamu Ndre,” kata Arinda dengan wajah malunya.
“
Ganggu ya Nda, hahaha,” goda Andre.
“Apaan
sih Ndre, kamu ni bisa aja,” sahutku dengan sedikit tertawa.
“Ya
udah, ni nih Srung tanganya Yan, kamu bawa dulu aja,”kata Andre sambil
memberikan sarung tangan yang kupinjam.
“Ok,
makasih ya Ndre, aku balik ke lapangan dulu. Oh iya Nda, nti kabarin aku lagi
ya masalah ekskul tadi,” kataku sambil meninggalkan mereka berdua yang kemudian
tertawa.
Di
lapangan ketika aku sepakbola bersama tim futsalku aku berharap dalam hati agar
ada ekskul band sore ini karena aku ingin bersama Arinda lebih lama untuk hari
ini.
Seusai
berlatih di lapangan aku kembali ke kelas menunggu kabar dari Arinda, lagi pula
siang itu hujan turun sangat lebat dan disertai angin yang amat kencang. Di
kelas masih ada beberapa temanku yang sedang mengerjakan tugas. Ternyata mereka
juga tak hanya mengerjakan tugas tetapi juga menunggu hujan reda.
Ketika
hujan sedikit reda aku dan dua temanku menuju ke kantin untuk membeli makanan
karena aku merasa lapar. Dan untungnya masih ada 1 kios yang buka di kantin.
Aku segera memesan mie instan. Tak lama kemudian mie telah tersaji di depanku
dan aku segera melahapnya karena sepertinya perutku tak mau diajak berkompromi
lagi. Ketika aku makan ada pesan masuk, ternyata pesan itu dari Arinda yang
mengatakan bahwa sore itu tak jadi ada ekskul band. Aku sedikit kecewa karena
aku tak bisa bersama dengan Arinda untuk menghadiri ekskul favoritku tersebut.
Aku segera menghabiskan mie instanku dan kembali ke kelas bersama kedua temanku
tadi. Tak lama setelah itu mereka berpamitan pulang padaku dan artinya aku
ditinggal sendiri di sekolah.
Aku
berjalan melewati koridor kelas sendiri saja. Setelah hampir lewat di depan
kelas Arinda, dia baru saja keluar kelas bersama seorang temannya. Dia menoleh
kearahku dan kami bertemu pandang. Dag dig dug terasa detak jantuungku. Aku
berusaha tenang dan melewati Arinda serta temannya. Langkahku terhanti ketika Arinda
memanggil namaku dengan lembut dan mengajakku berjalan bersama mereka. Di depan
UKS teman Arinda mengatakan bahwa dia ingin bermain voli terlebih dahulu dan
menyuruh Arinda pulang duluan. Perasaanku mulai tak karuan karena kini aku
hanya berjalan dengan Arinda, BERDUA dan BERDAMPINGAN.
“Pulang
sendiri Yan?”, tanya Arinda memecah keheningan antara kita berdua.
“iya
Nda. Kamu juga?”,aku balik bertanya.
“He’eh
Yan. Rumah kamu dimana ?”, sahut Arinda sambil memandangku. Dan kini detak
jantungku terasa semakin keras.
“Emmm,
Di Bandulan Nda,”jawabku gugup.
“Aku
antar yuk, sekalian nanti aku juga mau nonton bareng temenku di Mandala,”
tawarnya.
“Tapi
kan nggak searah Nda,”jawabku singkat, dan kini rasanya aku ingin pingsan
karena rasa senang, kaget, dan nervous berkecamuk di benakku.
“Nggak
apa Yan, itung- itung aku sambil jalan- jalan lah,” katanya tersenyum.
“Boleh
deh,” sahutku malu-malu kucing. Kuterima kesempatan ini karena mungkin ini
kesempatan langka dan aku tak akan menyia-nyiakan.
Ketika
kami berjalan di tempat parkir, aku heran karena Arinda tak kunjung berhenti
dan mengambil motornya. Ternyata motornya ada di parkiran atas dan di pojok. Di
sana hanya ada aku dan dia. Sempat kami saling pandang dan tersenyum. Kemudian
dia menyuruhku untuk naik ke motornya. Ya Tuhan, betapa senang hatiku ini ketika
aku bersama Sang Vokalis yang saat ini berada di depanku dan mengantarku
pulang.
Diperjalanan
Arinda sesekali bertanya sesuatu kepadaku. Saat dia bertanya dia selalu
mengarahkan pandangannya ke kaca spion motornya dan itu membuatku malu.
Arinda mengantarku sampai di depan
rumah dan kebetulan ibuku berada di sana. Arinda tersenyum ramah pada ibuku.
Ketika kuajak masuk ke dalam rumah dia menolak karena ia akan pergi menonton
film bersama teman- temannya. Kemudian ia berpamitan pulang padaku serta ibuku.
Hari
itu DIA SANGAT MEMBUATKU SENANG DAN TERKESAN.